Lambang Pemerintah Kabupaten Bireun Provinsi Aceh

Makna Filosofis Lambang Daerah Kabupaten Bireuen

Kabupaten Bireuen, terletak di Provinsi Aceh, memiliki lambang daerah yang kaya makna filosofis. Setiap elemen dalam lambang Kabupaten Bireun mencerminkan nilai-nilai luhur dan identitas masyarakat.

Lambang Kabupaten Bireun terdiri dari beberapa unsur yang saling berkaitan erat. Bintang bersegi lima melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai dasar dan sumber kekuatan bagi masyarakat Bireuen. Kubah masjid di sampingnya merepresentasikan Keislaman dan penerapan Syariat Islam yang menjadi pegangan hidup masyarakat.

Bunga Jeumpa yang indah menonjolkan makna Keharuman dan Kesucian, menggambarkan karakteristik masyarakat Bireuen yang dikenal ramah, sopan santun, dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral.

Buku sebagai simbol Daya Cipta dan Sumber Daya Manusia, menekankan pentingnya pendidikan dan pengembangan potensi diri untuk kemajuan daerah. Tugu dengan empat anak tangga di bawahnya merepresentasikan Bireuen sebagai Kota Juang, yang memiliki semangat pantang menyerah dan perjuangan dalam meraih kemerdekaan.

Kesuburan dan Kemakmuran digambarkan melalui padi dan kapas. Sepuluh butir padi di sebelah kiri dan sembilan butir di kanan tugu melambangkan hasil bumi yang melimpah, sementara sembilan butir kapas di sisi lain menandakan perekonomian daerah yang bertumbuh dan berkembang.

Rencong yang kokoh di bawah tugu merepresentasikan Kepahlawanan Rakyat Bireuen yang gigih dalam mempertahankan tanah air dan nilai-nilai luhur. Terakhir, timbangan melambangkan Keadilan sebagai cita-cita seluruh rakyat Bireuen, yang menjunjung tinggi persamaan hak dan kewajiban bagi semua warga.

Secara keseluruhan, lambang daerah Kabupaten Bireuen merupakan cerminan dari jati diri masyarakatnya yang religius, berakhlak mulia, pekerja keras, dan berjuang untuk kemajuan daerah. Setiap elemen dalam lambang tersebut memiliki makna yang mendalam dan saling berkaitan, membentuk identitas khas Kabupaten Bireuen.

Makna lambang Kabupaten Bireun

  • Bintang bersegi lima adalah melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 
  • Kubah Mesjid adalah melambangkan Keislaman dan Syari’at Islam. 
  • Bunga Jeumpa adalah melambangkan Keharuman dan Kesucian.
  • Buku adalah melambangkan Daya Cipta dan Sumber Daya Manusia. 
  • Tugu dengan jumlah anak tangga 4 (empat) buah adalah melambangkan Pencerminan Bireuen sebagai Kota Juang. 
  • Padi yang berjumlah 10 (sepuluh) butir dan Kapas yang berjumlah 9 (sembilan) buah dari kiri dan 9 (sembilan) buah di Kanan adalah melambangkan Kesuburan dan Kemakmuran. 
  • Rencong adalah melambangkan Kepahlawanan Rakyat. 
  • Timbangan adalah melambangkan  symbol dari pada Keadilan yang merupakan cita-cita seluruh rakyat.

Sejarah Kabupaten Bireun

Kabupaten Bireuen dalam catatan sejarah dikenal sebagai daerah Jeumpa. Dahulu Jeumpa merupakan sebuah kerajaan kecil di Aceh. Menurut Ibrahim Abduh dalam Ikhtisar Radja Jeumpa, Kerajaan Jeumpa terletak di Desa Blang Seupeung, Kecamatan Jeumpa, Kabupaten Bireuen.

Kerajaan-kerjaan kecil di Aceh tempo dulu termasuk Jeumpa mengalami pasang surut. Apalagi setelah kehadiran Portugis ke Malaka pada tahun 1511 M yang disusul dengan kedatangan Belanda. Secara de facto Belanda menguasai Aceh pada tahun 1904, yaitu ketika Belanda dapat menduduki benteng Kuta Glee di Batee Iliek, di bagian barat Kabupaten Bireuen.

Kemudian dengan Surat Keputusan Vander Guevernement General Van Nederland Indie tanggal 7 September 1934, Aceh dibagi menjadi enam Afdeeling (kabupaten) yang dipimpin oleh seorang Asisten Residen. Salah satunya adalah Afdeeling Noord Kust van Aceh (Kabupaten Aceh Utara) yang dibagi dalam tiga Onder Afdeeling (kewedanan).

Kewedanan dikepalai oleh seorang Countroleur (wedana) yaitu: Onder Afdeeling Bireuen (kini Kabupaten Bireuen), Onder Afdeeling Lhokseumawe (Kini Kota Lhokseumawe) dan Onder Afdeeling Lhoksukon (Kini jadi Ibu Kota Aceh Utara).

Selain Onder Afdeeling tersebut, terdapat juga beberapa daerah Ulee Balang (Zelf Bestuur) yang dapat memerintah sendiri terhadap daerah dan rakyatnya, yaitu Ulee Balang Keureutoe, Geureugok, Jeumpa dan Peusangan yang diketuai oleh Ampon Chik.

Pada masa pendudukan Jepang istilah Afdeeling diganti dengan Bun, Onder Afdeeling diganti dengan Gun, Zelf Bestuur disebut Sun. Sedangkan mukim disebut Kun dan gampong disebut Kumi.

Peta Kabupaten

Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, Aceh Utara disebut Luhak, yang dikepalai oleh Kepala Luhak sampai tahun 1949. Kemudian, setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar pada 27 Desember 1949, dibentuklah Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan beberapa negara bagian. Salah satunya adalah Negara Bagian Sumatera Timur, Aceh dan Sumatera Utara tergabung didalamnya dalam Provinsi Sumatera Utara.

Kemudian melalui Undang-Undang Darurat nomor 7 tahun 1956 tentang pembentukan daerah otonom setingkat kabupaten di Provinsi Sumatera Utara, maka dibentuklah Daerah Tingkat II Aceh Utara.

Keberadaan Aceh dibawah Provinsi Sumatera Utara menimbulkan rasa tidak puas masyarakat Aceh. Para tokoh Aceh menuntut agar Aceh berdiri sendiri sebagai sebuah provinsi. Hal ini juga yang kemudian memicu terjadinya pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pada tahun 1953.

Pemberontakan ini baru padam setelah keluarnya Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1957 tentang pembentukan Provinsi daerah Istimewa Aceh dan Aceh Utara sebagai salah satu daerah Tingkat dua, Bireuen masuk dalam wilayah Kabupaten Aceh Utara.

Baru pada tahun 1999 Bireuen menjadi Kabupaten tersendiri setelah lepas dari Aceh Utara selaku Kabupaten induk, pada 12 Oktober 1999, melalui Undang Undang Nomor 48 tahun 1999.
Kabupaten Bireuen terletak pada jalur Banda Aceh – Medan yang di apit oleh tiga (3) kabupaten, yaitu Kabupaten Bener Meriah, Kabupaten Pidiy Jaya dan Kabupaten Aceh Utara yang membuat Bireuen sebagai daerah transit yang maju.

Daerah tingkat dua pecahan Aceh Utara ini termasuk Wilayah agraris. Sebanyak 52,2 persen wilayah Bireuen adalah wilayah pertanian. Kondisi itu pula yang membuat 33,05 persen penduduknya bekerja di sektor agraris. Sisanya tersebar di berbagai lapangan usaha seperti jasa perdagangan dan industri.

Dari lima kegiatan pada lapangan usaha pertanian, tanaman pangan memberi kontribusi terbesar untuk pendapatan Kabupaten Bireuen. Produk andalan bidang ini adalah padi dan kedelai dengan luas tanaman sekitar 29.814 hektar.

Sentra produksi padi terdapat di Kecamatan Samalangan, Peusangan, dan Gandapura. Untuk pengairan sawah, kabupaten ini memanfaatkan tujuh sungai yang semua bermuara ke Selat Malaka. Salah satunya, irigasi Pante Lhong, yang memanfaatkan air Krueng Peusangan. Padi dan kedelai merupakan komoditas utama di kabupaten ini.

Bireuen juga dikenal sebagai daerah penghasil pisang. Paling banyak terdapat di Kecamatan Jeumpa. Pisang itu diolah jadi keripik. Karena itu pula Bireuen dikenal sebagai daerah penghasil keripik pisang. Komoditas khas lainnya adalah giri matang, sejenis jeruk bali. Buah ini hanya terdapat di Matang Geulumpangdua.

Potensi kelautan juga sangat menjanjikan. Untuk menopang hal itu di Kecamatan Peudada dibangun Pusat Pendaratan Ikan (PPI). Selain itu ada juga budi daya udang windu. Sementara untuk pengembangan industri, Pemerintah Kabupaten Bireuen menggunakan kawasan Gle Geulungku sebagai areal pengembangan. Untuk kawasan rekreasi, Bireuen menawarkan pesona Krueng Simpo dan Batee Iliek. Dua sungai yang menyajikan panorama indah.

Daerah pecahan Aceh Utara ini juga dikenal sebagai kota juang. Beragam kisah heroik terekam dalam catatan sejarah. Benteng pertahanan di Batee Iliek merupakan daerah terakhir yang diserang Belanda yang menyisakan kisah kepahlawan pejuang Aceh dalam menghadapi Belanda.

Kisah heroik lainnya, ada di kubu syahid lapan di Kecamatan Simpang Mamplam. Pelintas jalan Medan-Banda Aceh, sering menyinggahi tempat ini untuk ziarah. Di kuburan itu, delapan syuhada dikuburkan. Mereka wafat pada tahun 1902 saat melawan pasukan Marsose, Belanda.

Kala itu delapan syuhada tersebut berhasil menewaskan pasukan Marsose yang berjumlah 24 orang. Namun, ketika mereka mengumpulkan senjata dari tentara Belanda yang tewas itu, mereka diserang oleh pasukan Belanda lainnya yang datang dari arah Jeunieb.

Kedelapan pejuang itu pun syahid. Mereka adalah : Tgk Panglima Prang Rayeuk Djurong Bindje, Tgk Muda Lem Mamplam, Tgk Nyak Bale Ishak Blang Mane, Tgk Meureudu Tambue, Tgk Balee Tambue, Apa Sjech Lantjok Mamplam, Muhammad Sabi Blang Mane, serta Nyak Ben Matang Salem Blang Teumeuleuk. Makan delapan syuhada ini terletak di pinggir jalan Medan – Banda Aceh, kawasan Tambue, Kecamatan Simpang Mamplam. Makam itu dikenal sebagai kubu syuhada lapan.

Website : www.bireuenkab.go.id

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *